agoda

Kamis, 11 April 2013

The Great Wall



Tembok Besar Cina , salah satu mahakarya paling kolosal dalam sejarah militer

sambungan dari Tembok Besar Cina tulisan terdahulu


Selang beberapa abad, dinasti pengganti menghadapi problem serupa : perbatasan terbuka yang rawan serangan. Tapi berhubung ancaman itu bersifat pasang surut. Para kaisar mensiasatinya dengan strategi yang berbeda-beda. Dinasti Tang ( 618-907) misalnya, tidak membangun tembok secuilpun, melainkan hanya mengandalkan pengetahuan akan seluk beluk diplomasi dan medan perang Asia Tengah.

Sisi Tembok Besar yang saya jelajahi di Jiankou merupakan warisan Dinasti Ming. Berkuasa pada 1368 pasca terdepaknya Dinasti Yuan yang dirintis Kubilai Khan, dinasti ini mendirikan benteng pertahanan yang di sebut  Bianqiang, artinya “ tembok pembatas “. Bahan material  tanah padat yang dipakai benteng terdahulu diganti dengan batu cadas. Di masa ini pula menara pengintai ditambahkan  di tiap puncak bukit dan cekungan. Selain menjadi sarana perlindungan bagi tentara yang menunggu serangan Mongol, menara – menara ini berfungsi memberikan peringatan dini. Ketika bahaya mendekat, kotoran srigala akan dipanggang diatapnya untuk menghasilkan kepulan asap yang membubung tinggi. Alaram tanpa suara itu sanggup melintasi 1.000 kilometer dalam semalam.

Dinasti Ming adalah pengguna terakhir Bianqiang. Kaisar suksesor, Qing, bunuh diri kala pemberontakan pecah di 1644, dan penerusnya tak lagi menganggap benteng sebagai element penting dalam strategi militer. Bagi mereka, pagar pembatas hanyalah symbol ketidakbecusan pemimpin terdahulu dalam menjatuhkan pilihan antara berperang atau berunding. Benteng dipandang sebagai representasi rasa takut ketimbang kekuatan.

Setelah pamor Tembok Besar Cina pudar ditelan zaman , mitos dan kontroversi bermunculan. Para penjelajah dari dunia Barat yang menyambangi Cina di abad ke-18 kerap bingung dan salah persepsi begitu menyaksikan tembok raksasa di sekitar Beijing. Sebagian menganggap tembok itu merupakan kelanjutan  dari garis pertahanan kaisar Qin Shi Huang yang didirikan dua millennium sebelumnya.

John Man mencoba menjawab kebingungan itu dalam bukunya  The Great Wall. “ tembok Besar itu terpisah – pisah. Dipeta ini ia tampil seperti fragmen DNA pada sebuah diagram ilmiah. Dari dekat, sedikit sekali bagian – bagian tersebut yang menyerupai bangunan megah yang biasa dikerubuti turis “ tulisnya.
Memang ,Tembok Besar Cina bukanlah struktur tunggal, melainkan sebuah jaringan pertahanan. Beberapa daerah yang tergolong rentan dipagari tembok berlapis – lapis. Sementara di Cina bagian barat, sosok benteng hanyalah berupa gundukan tanah liat diatas hamparan hampa.

Celakanya, kesalahpahaman juga menimpa banyak kalangan di negeri Tiongkok. Lihat saja kasus konservasi tembok yang sarat polemic. Sejak Deng Xioping menyuarakan slogan “ Mari Cintai Cina dan Pagar Tembok Besar “ di tahun 1984, banyak bagian tembok mengalami perubahan signifikan. Yang patut disesalkan, hasil pemugaran kerap tak sesuai harapan.

Di Jinan, Provinsi Shandong, satu bagian tembok direkonstruksi menggunakan ubin kamar mandi. Sementara dilokasi yang lain , materi orisinal tanah liat ditutupi semen curah. Semua “modernisasi” itu dilandasi  alasan konyol ; otoritas setempat beranggapan turis lebih menyukai tembok kokoh seperti yang terlihat di Badaling. ( route dan hotel disana )
Jiankou adalah salah satu bagian tembok yang selamat dari proyek controversial tersebut. Meski hanya berjarak sekitar 70 kilometer dari Beijing, tempat ini masih menyisakan setumpuk cerita dari masa lalu. Berdiri diatap menara, saya terpaku dihadapan rentetan tembok yang berdiri menerjang perputaran musim dan waktu.

Fungsi pertahan tembok kini tinggal kenangan, sebab banyak orang Mongol modern lebih gemar menenggak Vodka ketimbang berkuda  atau membangun imperium raksasa. Satu tantangan yang harus dihadapi tembok kini adalah keganasan alam. Saat sedang khusuk menikmati pemandangan , angin rebut tiba-tiba bertiup dari dasar lembah. Tian Mo lalu member isyarat agar saya segera turun gunung. Sedetik kemudian, pasir beterbangan ke berbagai penjuru dan menerpa tubuh kami. Kata Tian Mo fenomena ini lumrah di pergantian musim.
Kami tiba di Desa Xi Zha Zi saat malam telah pekat. Bagi saya, petualanagan memang sudah berakhir. Tapi bagi Tembok Besar Cina, malam ini hanyalah satu dari ribuan malam yang telah dan akan dilewatinya. “ Tembok Liar “ yang setia melawan waktu.

Getting there....bersambung... Ke Tembok Cina

Di ambil dari majalah “jalanjalan” Edisi Juli 2012, Vol VIII No 07, hal 72-81