Tembok Besar Cina , salah satu
mahakarya paling kolosal dalam sejarah militer
sambungan dari Tembok Besar Cina tulisan terdahulu
Selang beberapa abad, dinasti pengganti menghadapi problem
serupa : perbatasan terbuka yang rawan serangan. Tapi berhubung ancaman itu
bersifat pasang surut. Para kaisar mensiasatinya dengan strategi yang
berbeda-beda. Dinasti Tang ( 618-907) misalnya, tidak membangun tembok
secuilpun, melainkan hanya mengandalkan
pengetahuan akan seluk beluk diplomasi dan medan perang Asia Tengah.
Sisi Tembok Besar yang saya jelajahi di Jiankou merupakan
warisan Dinasti Ming. Berkuasa pada 1368 pasca terdepaknya Dinasti Yuan yang
dirintis Kubilai Khan, dinasti ini mendirikan benteng pertahanan yang di
sebut Bianqiang, artinya “ tembok
pembatas “. Bahan material tanah padat
yang dipakai benteng terdahulu diganti dengan batu cadas. Di masa ini pula menara
pengintai ditambahkan di tiap puncak
bukit dan cekungan. Selain menjadi sarana perlindungan bagi tentara yang
menunggu serangan Mongol, menara – menara ini berfungsi memberikan peringatan
dini. Ketika bahaya mendekat, kotoran srigala akan dipanggang diatapnya untuk
menghasilkan kepulan asap yang membubung tinggi. Alaram tanpa suara itu sanggup
melintasi 1.000 kilometer dalam semalam.
Dinasti Ming adalah pengguna terakhir Bianqiang. Kaisar
suksesor, Qing, bunuh diri kala pemberontakan pecah di 1644, dan penerusnya tak
lagi menganggap benteng sebagai element penting dalam strategi militer. Bagi
mereka, pagar pembatas hanyalah symbol ketidakbecusan pemimpin terdahulu dalam
menjatuhkan pilihan antara berperang atau berunding. Benteng dipandang sebagai
representasi rasa takut ketimbang kekuatan.
Setelah pamor Tembok Besar Cina pudar ditelan zaman , mitos
dan kontroversi bermunculan. Para penjelajah dari dunia Barat yang menyambangi
Cina di abad ke-18 kerap bingung dan salah persepsi begitu menyaksikan tembok
raksasa di sekitar Beijing. Sebagian menganggap tembok itu merupakan kelanjutan
dari garis pertahanan kaisar Qin Shi
Huang yang didirikan dua millennium sebelumnya.
John Man mencoba menjawab kebingungan itu dalam bukunya The
Great Wall. “ tembok Besar itu terpisah – pisah. Dipeta ini ia tampil
seperti fragmen DNA pada sebuah diagram ilmiah. Dari dekat, sedikit sekali
bagian – bagian tersebut yang menyerupai bangunan megah yang biasa dikerubuti
turis “ tulisnya.
Memang ,Tembok Besar Cina bukanlah struktur tunggal,
melainkan sebuah jaringan pertahanan. Beberapa daerah yang tergolong rentan
dipagari tembok berlapis – lapis. Sementara di Cina bagian barat, sosok benteng
hanyalah berupa gundukan tanah liat diatas hamparan hampa.
Celakanya, kesalahpahaman juga menimpa banyak kalangan di
negeri Tiongkok. Lihat saja kasus konservasi tembok yang sarat polemic. Sejak
Deng Xioping menyuarakan slogan “ Mari Cintai Cina dan Pagar Tembok Besar “ di
tahun 1984, banyak bagian tembok mengalami perubahan signifikan. Yang patut
disesalkan, hasil pemugaran kerap tak sesuai harapan.
Di Jinan, Provinsi Shandong, satu bagian tembok
direkonstruksi menggunakan ubin kamar mandi. Sementara dilokasi yang lain ,
materi orisinal tanah liat ditutupi semen curah. Semua “modernisasi” itu
dilandasi alasan konyol ; otoritas
setempat beranggapan turis lebih menyukai tembok kokoh seperti yang terlihat di
Badaling. ( route dan hotel disana )
Jiankou adalah salah satu bagian tembok yang selamat dari
proyek controversial tersebut. Meski hanya berjarak sekitar 70 kilometer dari
Beijing, tempat ini masih menyisakan setumpuk cerita dari masa lalu. Berdiri
diatap menara, saya terpaku dihadapan rentetan tembok yang berdiri menerjang
perputaran musim dan waktu.
Fungsi pertahan tembok kini tinggal kenangan, sebab banyak
orang Mongol modern lebih gemar menenggak Vodka ketimbang berkuda atau membangun imperium raksasa. Satu tantangan
yang harus dihadapi tembok kini adalah keganasan alam. Saat sedang khusuk
menikmati pemandangan , angin rebut tiba-tiba bertiup dari dasar lembah. Tian
Mo lalu member isyarat agar saya segera turun gunung. Sedetik kemudian, pasir
beterbangan ke berbagai penjuru dan menerpa tubuh kami. Kata Tian Mo fenomena
ini lumrah di pergantian musim.
Kami tiba di Desa Xi Zha Zi saat malam telah pekat. Bagi
saya, petualanagan memang sudah berakhir. Tapi bagi Tembok Besar Cina, malam ini
hanyalah satu dari ribuan malam yang telah dan akan dilewatinya. “ Tembok Liar “
yang setia melawan waktu.
Getting there....bersambung... Ke Tembok Cina
Getting there....bersambung... Ke Tembok Cina
Di ambil dari majalah “jalanjalan” Edisi Juli 2012, Vol VIII
No 07, hal 72-81